Sabtu, 04 September 2010

RUNTUHNYA LOYALITAS GURU


Loyalitas guru-guru terhadap tugasnya sudah begitu parah ?. Sering kita mendengar sebagian guru-guru berpendapat bahwa umumnya guru-guru berambisi untuk masuk ke jalur struktural sekolah, baik sebagai wakil Kepala Sekolah, Pokja, Wali Kelas, dst. Tetapi menurut saya asumsi itu tidak signifikan. Kalau pun ada, saya berpendapat paling tinggi angkanya hanya 5% saja dari Total jumlah guru yang ada.
Dalam banyak kesempatan dalam obrolan-obrolan santai dengan guru-guru saya sering menyatakan hal ini. Secara kasar, bagi saya ada 3 kelompok guru dalam kaitannya dengan struktural sekolah. Pertama adalah guru-guru yang memang berambisi untuk duduk di kursi struktural sekolah. Jumlah guru-guru yang termasuk dalam kategori ini paling sedikit. Kedua adalah kebalikannya, yaitu guru-guru yang merasa bahwa jabatan struktural itu adalah suatu beban, baik karena merasa tidak mampu, karena malas, maupun karena merasa rugi (sebab waktu luangnya jadi sempit). Kelompok ini adalah kelompok yang paling banyak. Ketiga adalah guru-guru yang bersikap netral. Kalau diberi tugas tambahan OK, kalau tidak juga tidak masalah. Dilihat sepintas dari permukaan kelompok ini tampak tidak bermasalah, tetapi kalau ditinjau lebih dalam kondisinya mungkin tidak seragam: bisa karena memang sadar akan tanggung jawab, bisa juga karena tidak mampu menolak, dsb. Kelompok ini juga sangat sedikit, sama dengan kelompok yang pertama.
Menurut saya sistem penugasan terhadap tugas tambahan sekolah hendaknya bisa menampung berbagai kondisi guru-guru, minimal ketiga kondisi ini. Jika tidak, maka akan semakin melemahlah kesadaran guru-guru akan tanggung jawabnya untuk keberlangsungan apalagi kemajuan sekolah.
Kondisi guru-guru saat ini berbeda dengan kondisi guru-guru tempo dulu. Guru-guru dulu hampir merata sangat loyal dan tulus terhadap pekerjaannya. Hidup sederhana dan tidak neko-neko, dst. Tetapi guru-guru sekarang secara umum kebalikannya. Singkat cerita, berbagai senjata motivasi yang ampuh untuk guru-guru dulu tampaknya sudah tidak mempan lagi untuk mendongkrak gairah pengabdian guru-guru sekarang. Mau dibujuk dengan pangkat (kredit poin) banyak guru-guru sekarang sudah mulai tidak peduli dengan iming-iming pangkat. Yang penting gaji tetap diterima dan tidak dipotong. Karena toh selisih gaji setelah naik pangkat tidak begitu berarti dibanding beban tugas dan waktu yang dikuras karena jabatan ini itu. Mau dibujuk dengan honor tugas tambahan, sebagian guru-guru sudah memiliki usaha sampingan di luar sekolah, bahkan penghasilan tambahannya ada yang melebihi gajinya sebagai guru. Artinya honor yang ditawarkan tugas tambahan sekolah sangat tidak menggiurkan. Kemudian kalau dibujuk dengan tugas adalah sebuah pelayanan atau pengabdian, sudah hampir merata guru-guru sekarang tidak takut lagi dengan seruan-seruan moral seperti itu.
Beragam pendapat bermunculan kenapa loyalitas guru semakin hari semakin menurun. Ada yang berpendapat (ini pendapat yang paling banyak terdengar) karena gaji guru masih kurang, tidak mencukupi. Ada pula yang berpendapat karena murid-murid yang masuk umumnya memang tidak punya kemauan untuk belajar. Apalagi motivasi mereka masuk ke sekolah ini hanya sebagi pelarian karena tidak diterima di sekolah lain, sehingga guru-guru pun kurang termotivasi oleh kondisi siswa-siswa yang demikian. Kemudian ada lagi yang berpendapat karena korupsi sudah merajalela dimana-mana, termasuk juga ke sekolah-sekolah. Akhirnya guru-guru masa bodoh: “Buat apa susah-susah, toh orang-orang di atas enak-enak saja korupsi”. Terakhir yang tidak kalah penting ada yang berpendapat bahwa semuanya adalah gara-gara keruntuhan moral. Bagaimanapun kuncinya adalah moral. Sebaik dan sebagus apa pun sebuah sistem, selagi moral orang-orangnya tidak beres maka hasilnya tetap saja tidak beres.
Saya berpendapat tidak mudah untuk menyimpulkan penyebab yang sebenarnya. Karena semua itu adalah akumulasi dari berbagai hal. Tidak mungkin suatu gejala hadir tiba-tiba begitu saja sendiri. Tentu ada mata rantai penyebab yang saling kait berkait, seperti sebuah jejaring yang sangat kompleks, dan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sudah mirip dengan lapisan-lapisan bebatuan. Bermimpi dapat merubah semua ini dalam sekejap dengan sebuah rumus standar hanyalah sebuah ilusi belaka.
Tetapi meratapi keadaan ini tentu juga tidak ada gunanya. Mengeluhkan semua carut marut ini tidak akan membawa situasi kemana-mana., bahkan hanya akan menambah masalah. Padahal kondisi lembaga yang bernama sekolah ini sudah bagaikan kapal besar yang terancam tenggelam, karena disana sini sduah penuh dengan lobang-lobang kebocoran.
Secara gamblang ada dua pilihan menurut saya. Pertama, semua warga sepakat untuk menenggelamkan betul kapal sekolah ini. Marilah kita sama-sama tidak mau tahu, atau saling memperbanyak lobang di lantai, di dinding, dan dimana saja disetiap badan kapal, sehingga lebih cepat tenggelam dan berakhir. Kedua, dengan kesadaran bahwa kita sedang terancam tenggelam, marilah masing-masing kita sama-sama bekerja untuk menahan laju tenggelammnya. Minimal untuk bertahan!
Inilah yang saya tuju sebenarnya, dalam satu kata: giliran! Apa pun bentuknya tugas-tugas tamnbahan dari sekolah hendaknya dalam bentuk giliran. Tadi sudah dijabarkan bahawa 3 senjata untuk membujuk loyalitas guru-guru sudah keok (Pangkat, honor, pengabdian). Inilah saatnya untuk mengembalikan segala persoalan keasalnya. Inilah konsekwensi profesi, bahwa setiap guru harus ikut berpartisipasi terhadap tanggung jawab tugas tambahan secara bergiliran. Pengecualian hanya untuk hal-hal yang benar-benar bisa ditolerir. Itu pun sebaiknya diiringi dengan konsekuensi yang jelas dan dimaklumi bersama.
Saya tidak mengatakan ini adalah rumus pamungkas yang mujarab. Tetapi paling tidak, ini bisa menampung dan meredam berbagai bias kemungkinan penurunan loyalitas. Untuk guru-guru yang memang ingin berkarir, saat mengemban tugas dapat dijadaikan sebagai ajang yang tepat untuk menunjukkan dan menikmati kebolehannya. Sebaliknya bagi guru-guru yang merasa tugas tambahan sebagai beban, saat itulah dia ikut merasakan bagaimana suka dukanya mejalankan tugas tersebut. Pengalaman nyata itu akan memancing mnculnya kesadaran dan pengertian baru, yang selama ini mungkin tidak pernah dirasakannya ketika dia hanya sebagai penonton saja (maklum penonton biasanya suka usil dan merasa lebih pintar dari pemain). Dan terkhir bagi guru-guru yang bersikap netral, sistim giliran ini bisa menjadi katup pengaman bagi lunturnya ketulusan pengabdiannya. Karena ia merasa ada keadilan. “Untuk apa saya harus merasa kesal, marah, cemburu dan mengumpat dalam menjalankan tugas. Toh yang lain pun nanti juga akan mendapat giliran yang sama seperti saya”.
Bukan seperti yang selama ini terjadi. Guru-guru tertentu terlalu sering mendapat tugas tambahan, baik karena memang ingin berprestasi maupun karena tidak kuasa menolak. Sebaliknya guru-guru tertentu sangat jarang bahkan ada yang tidak pernah disentuh oleh tugas tambahan, baik karena tidak diberi kesempatan, tidak mampu maupun karena tidak mau tahu. Bagi yang ingin berkarir, mendapat tugas tambahan tentu tidak jadi masalah, malah itu suatu kesempatan yang diinginkan. Tetapi bagi yang merasa tugas tambahan sebagai beban tentu ia merasa dirugikan. Ia sibuk mengerjakan beban tugas sekolah (yang pada prinsipnya untuk kepentingan bersama), sementara sebagian guru-guru dapat bersenang-senang menikmati waktu luangnya, bahkan ada yang berkesempatan membangun usahanya sedemikian suksesnya, karena waktu luang yang tersisa sangat banyak. Persoalannya bukan iri karena akan kesuksesan orang lain, tetapi karena tidak adanya keadilan. Tidak adanya sistem yang menjamin pemerataan, baik terhadap giliran maupun kompensasi yang setimpal. Jangan-jangan bagi yang merasa sebagai beban diam-diam itu dirasakan sebagai eksploitasi terhadap ketulusan.
Menurut saya, metode giliran bisa menjadi alternatif dari kebuntuan ini. Mungin pada awalnya banyak pro dan kontra, tetapi jika ini dilaksanakan secara konsisten, besar kemungkinan akan muncul kesadaran pada masding-masing guru bahwa tugas tambahan ini memang harus kita terima dan maklumi dengan sportif. Toh semua orang mendapat kesempatan dan giliran, malu dong saya sendiri ngotot untuk mengelak. Secara tidak langsung guru-guru yang bertugas menyusun daftar-daftar tugas tambahan (wali kelas, piket, Pembina upacara, dan tugas-tugas dalam suatu kepanitianaan) tidak akan menerima keluhan dan penolakan lagi dari guru-guru yang ditugaskan. Paling tidak, sistem ini berpeluang untuk meredam konflik horizontal antara guru-guru yang duduk di struktural dengan guru-guru biasa.
Memang ada yang berpendapat bahwa tidak semua guru mampu mengemban tugas tambahan, apalagi di struktural seperti Wakil Kepala Sekolah, Pokja dan Ketua Jurusan misalnya. Menurut saya justru disinilah momen yang tepat dan murah untuk pengembangan SDM guru. Melalui wadah tugas tambahan inilah guru-guru benar-benar ditempa dirinya secara menyeluruh, baik wawasan, kecakapan teknis maupun kepribadiannya. Dalam suatu tim struktural bisa dikombinasikan beberapa guru dengan tingkat kecakapan dan pengalaman yang bervariasi: ada yang sudah berpengalaman, ada yang belum, ada yang sudah cakap dan ada yang belum, dst. Dalam bekerja mereka biasa saling isi mengisi.
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana mungkin ini bisa dilakukan? Bukankah siapa yang akan duduk di struktural misalnya adalah hasil pemilihan? Siapa pun tidak bisa meramalkan siapa yang akan terpilih. Kalau pun ada lobi-lobi itu pun juga tidak ada jaminan. Menurut saya, dalam pemilihan, beberapa nama yang sudah menjabat pada periode sebelumnya dikeluarkan sebagai calon yang tidak boleh dipilih lagi. Tentu saja nama-nama yang sudah boleh istirahat dan yang tidak itu harus melalui aturan main yang jelas, sehingga bisa diterima dan dimaklumi bersama. Singkatnya masalah teknis ini bisa diatur sedemikian rupa jika sistem giliran ini diterima sebagai alternatif.
Mungkin ada lagi yang membantah, bukankah semua ini sudah ada aturannnya secara resmi. Siapa yang layak dan berhak di struktural dan tugas tambahan sudah ada syarat-syaratnya. Jadi kita tidak perlu lagi membuat aturan-aturan baru. Ikuti saja sesuai juklak dan juknisnya. Kalau dilaksnakan dengan cara lain nanti bisa digolongkan menyalahi aturan yang sudah jelas. Secara teori itu betul. Tetapi dalam praktek sebuah teori bisa kurang relevan bahkan mungkin pada kondisi tertentu teori itu tidak ada artinya. Karena bagaimana pun setiap situasi adalah unik. Jadi tidak mungkin sebuah aturan bisa menjawab semua persoalan di lapangan. Artinya sebuah aturan tidak cukup dipahami dan dijalani secara kaku. Bukankah inspirasi penyusunan peraturan-peraturan juga diambil dari pengalaman-pengalamn di lapangan. Jangan-jangan pendapat yang bersikukuh dengan dalih peraturan itu hanya sebagai pantulan dari kemalasan dan ketidak berdayaan berpikir dalam mencari solusi-solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan di lapangan.
Terakhir, jika sistem ini diterima, untuk menjaga keberlangsungannnya perlu pengawasan dari Kepala Sekolah. Ini termasuk faktor yang sangat menentukan, walaupun sudah lazim kita mendengar bahwa antara guru dan Kepala Sekolah sering terjadi saling lempar kesalahan. Menurut guru-guru , apapun persoalan yang terjadi di sekolah adalah gara-gara kegagalan seorang kepala sekolah dalam memimpin sekolahnnya. Lalu sebaliknya Kepala sekolah berpendapat bahwa kesadaran guru-guru akan tanggung jawab masih rendah. Jika kesadaran guru-guru sudah baik ia yakin ini tidak akan terjadi. Tugas kepala sekolah bukan mengurusi ini itu dari A sampai Z, tetapai hanya sebagai tukang koordinir. Pelakunya adalah guru-guru. Bagaimana hasilnya ya tergantung pada pelaksananya.
Menurut saya kedua-duanya bisa betul dan bisa salah, tergantung sudut pandang yang digunakan. Para pakar politik sering mengatakan bahwa kondisi warga negara kita masih bercorak paternalistik. Perbuatan warga Negara sangat tergantung pada perbuatan pemimpinnya. Kalau sang Bapak (pemimpin) rajin maka rajinlah anaknya. Tapi kalau Bapaknya malas ya malaslah anaknya. Kalau Bapaknya korupsi ya korupsilah anaknya, dan begitulah seterusnya. Inilah faktanya. Dari sudut pandang ini maka seorang Kepala Sekolah tidak boleh menunggu guru-guru rajin dan loyal dulu baru kemudian dia mengikuti. Tetapi Kepala Sekolah harus memulai terlebih dahulu apa yang ingin diikuti dan ditiru oleh guru-guru. Kalau Kepala Sekolah malas turun gotong royong jangan harap guru-guru akan rajin gotong royong. Kalau Kepala Sekolah enggan melakukan pendekatan pribadi pada guru-guru maka jangan heran kalau guru-guru juga membalas dengan perbuatan yang setimpal. Singkatnya dalam pandangan paternalistik, Kepala Sekolah adalah sang nabi di suatu sekolah, yang harus menjadi contoh steril dari guru-guru.
Memihak pada salah satu sisi dalam persoalan ini sama dengan menolak salah satu sisi dari mata uang. Tidak mungkin satu faktor berdiri tunggal dengan gagah perkasa. Tentu ada interaksi timbul balik antara guru dan Kepala Sekolah. Hanya saja secara mekanisme lembaga tentu saja Kepala Sekolah yang paling bertanggung jawab terhadap sebuah sekolah. Ini bukan berarti guru tidak mengemban tanggung jawab sama sekali, tetapi dalam bentuk dan proporsi yang berbeda.
Yang jelas, bagaimanapun pentingnya seruan-seruan moral, tanpa dukungan sistem yang memadai, loyalitas guru-guru akan mudah runtuh oleh berbagai hal . Paling tidak, disinilah sistem giliran tanggung jawab ini menjadi alternatif. Jika sistem ini dijalankan dengan konsisten, mungkin tingkat kebandelan guru-guru bisa ditekan seoptimal mungkin. Karena semua guru akhirnya saling maklum bahwa inilah konsekuensi yang harus dimaklumi. Suka tidak suka, semuanya harus menerima dengan sportif. Hanya guru-guru yang benar-benar berhati brensek saja yang tidak mau berpartisipasi dalam sebuah tanggung-jawab bersama, dan jumlahnya tentu sangat sedikit
Menurut saya secara perlahan, dalam jangak panjang, sistem ini akan membantu Kepala Sekolah dalam meringankan beban untuk bersusah payah mengontrol kinerja guru-guru, karena guru-guru tidak punya alasan lagi untuk menolak dan tidak bertugas dengan optimal.
Penulis : Erianto, S.Pd, (SMKN 4 Padang).

Loyalitas/Produktifitas

Bacaan: Titus 3:1-14

...untuk dapat memenuhi keperluan hidup yang pokok, supaya hidup mereka jangan tidak berbuah.- Titus 3:14


Terkadang saya cukup sebal mendengar seseorang yang membanggakan diri dengan lamanya dia bekerja di sebuah perusahaan. Menunjukkan diri sebagai karyawan paling loyal di perusahaan itu. Jangan salah sangka, saya bukannya tidak menghargai arti sebuah kesetiaan. Kesetiaan yang dibuktikan dengan lamanya waktu bekerja memang penting. Tanpa hal ini perjalanan pun akan tersendat-sendat, bahkan bisa-bisa menjadi kacau dan yang pasti, ritme perusahaan menjadi kacau. Saya acungi jempol kepada mereka yang telah teruji secara waktu.

Namun ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar kata loyalitas saja, hasil kerja dan produktifitas! Apa gunanya kita membanggakan loyalitas kita yang berpuluh-puluh tahun tetapi sebenarnya tidak ada sesuatu yang dihasilkan sama sekali? Apa gunanya mendapat penghargaan sebagai karyawan paling loyal namun kita tidak pernah memberi dampak kepada perusahaan?

Tidak jarang kita bertemu dengan seseorang yang baru bekerja satu dua tahun dalam sebuah perusahaan. Namun, meski demikian prestasi kerjanya sangat membanggakan. Ia tak hanya menyelesaikan tugas dengan baik saja, tetapi ia juga mendukung kemajuan perusahaan. Laju perusahaan pun melaju cepat di tengah persaingan bisnis yang makin kompetitif. Langkah-langkah strategis yang ia ambil menentukan arah perusahaan yang makin efektif. Cara berpikirnya memberi warna tersendiri bagi perusahaannya. Menjadi kreatif dan inovatif sehingga kemajuan perusahaan pun terlihat dengan jelas!

Saya sangat yakin bahwa para owner akan berebut mendapatkan pekerja yang seperti ini, dibandingkan dengan pekerja yang memiliki stempel "loyalitas" saja. Jika Anda seorang yang sanggat bangga dengan stempel loyalitas yang Anda miliki, saya usulkan agar Anda juga bangga dengan stempel "kualitas kerja dan produktifitas". Orang dihargai bukan hanya dilihat dari sudut pandang loyalitas saja, tapi juga dari produktifitas kerjanya.

Orang dihargai bukan hanya dari loyalitas saja tapi juga produktifitas.

Sabtu, 19 Juni 2010

PELATIHAN GURU 2010

Akan dilaksanakan Pelatihan Guru 2010 kerjasama YBPK GKP dan BINA WARGA. Mohon kepada seluruh Guru dan Kepala Sekolah mempersiapkan diri untuk mengikuti kegiatan ini, yang akan dilaksanakan pada : 
      • Hari/Tanggal, Kamis - Sabtu, 22 s/d 24 Juli 2010
      • Tempat : Hotel Yehezkiel Lembang
      • Pendaftaran dan Check In : Kamis, 22 Juli 2010, Jam 12.00 WIB s/d selesai.
Informasi lebih lanjut : Hubungi Sekretariat YBPK GKP Bandung.

PETA LOKASI :

Sabtu, 17 April 2010

ANALISIS BUTIR SOAL PILIHAN GANDA DAN URAIAN

Kegiatan ujian sekolah akan berakhir, dan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Guru adalah menganalisis butir soal yang telah diujikan.

Dalam melaksanakan analisis butir soal, para penulis soal dapat menganalisis secara kualitatif, dalam kaitan dengan isi dan bentuknya, dan kuantitatif dalam kaitan dengan ciri-ciri statistiknya (Anastasi dan Urbina, 1997: 172) atau prosedur peningkatan secara judgment dan prosedur peningkatan secara empirik (Popham, 1995: 195). Analisis kualitatif mencakup pertimbangan validitas isi dan konstruk, sedangkan analisis kuantitatif mencakup pengukuran kesulitan butir soal dan diskriminasi soal yang termasuk validitas soal dan reliabilitasnya.


Tujuan utama analisis butir soal dalam sebuah tes yang dibuat guru adalah untuk mengidentifikasi kekurangan-kekurangan dalam tes atau dalam pembelajaran (Anastasi dan Urbina, 1997:184). Berdasarkan tujuan ini, maka kegiatan analisis butir soal memiliki banyak manfaat, di antaranya adalah: 
  • dapat membantu para pengguna tes dalam evaluasi atas tes yang digunakan, 
  • sangat relevan bagi penyusunan tes informal dan lokal seperti tes yang disiapkan guru untuk siswa di kelas, 
  • mendukung penulisan butir soal yang efektif, 
  • secara materi dapat memperbaiki tes di kelas, 
  • meningkatkan validitas soal dan reliabilitas (Anastasi and Urbina, 1997:172). 
 Di samping itu, manfaat lainnya adalah: 
  • menentukan apakah suatu fungsi butir soal sesuai dengan yang diharapkan, 
  • memberi masukan kepada siswa tentang kemampuan dan sebagai dasar untuk bahan diskusi di kelas, 
  • memberi masukan kepada guru tentang kesulitan siswa, 
  • memberi masukan pada aspek tertentu untuk pengembangan kurikulum, 
  • merevisi materi yang dinilai atau diukur, 
  • meningkatkan keterampilan penulisan soal (Nitko, 1996: 308-309).
Linn dan Gronlund (1995: 315) juga menambahkan tentang pelaksanaan kegiatan analisis butir soal yang hiasanya didesain untuk menjawab pert anyaan-pertanyaan berikut ini.
  • Apakah fungsi soal sudah tepat? 
  • Apakah soal ini memiliki tingkat kesukaran yang tepat? 
  • Apakah soal bebas dari hal-hal yang tidak relevan? 
  • Apakah pilihan jawabannya efektif? 
Lebih lanjut Linn dan Gronlund (1995: 3 16-318) menyatakan bahwa kegunaan analisis butir soal bukan hanya terbatas untuk peningkatkan butir soal, tetapi ada beberapa hal, yaitu bahwa data analisis butir soal bermanfaat sebagai dasar: 
  • diskusi kelas efisien tentang hasil tes, 
  • untuk kerja remedial, 
  • untuk peningkatan secara umum pembelajaran di kelas, dan 
  • untuk peningkatan keterampilan pada konstruksi tes.
Kita ketahui bersama, bahwa proses analisis yang melibatkan perhitungan-perhitungan statistik yang cukup rumit membuat guru enggan untuk melakukan analisis. Tetapi ada banyak tool yang tersedia seperti Program Iteman, Program SPSS dan lain-lain yang dapat memudahkan para guru untuk melakukan analisis butir soal.

Bagi Guru yang ingin kemudahan dalam menganalisis butir soal, tersedia Program Makro Excel yang membuat proses analisis menjadi lebih mudah dan menyenangkan. Program ini terdiri atas 2 bagian, yaitu ; Analisis butir soal Pilihan Ganda dan Analisis Butir Soal Uraian Obyektif.
Program dapat di download di area download pada Main Menu, atau bisa langsung klik di sini. Selamat Bekerja, Sukses untuk Anda.

Selasa, 13 April 2010

PENEGUHAN KPS CIDERES PERIODE 2010-2015




Cideres – BLOG BPK GKP   
Pada tanggal 11 April 2010, dilaksanakan Acara Peneguhan Pengurus YBPK GKP KPS Cideres Periode 2010-2015 dalam Ibadah Minggu di GKP Cideres, dilayani oleh Pdt. Em.Robby E. Rumbayan yang juga adalah salah satu Pengurus YBPK GKP.
Dengan prosesi pembukaan yang didukung oleh Tim Longser SMPK BPPK BANDUNG memberi kesan nuansa Sunda yang kental. Ini sangat menggembirakan karena sesuai dengan muatan Visi Misi YBPK GKP adalah Akrab dengan Budaya Sunda.  Anak-anak SMPK BPPK BANDUNG yang justru tidak sedikit berlatar belakang bukan Sunda tetapi mereka mampu mengapresiasi dan mengekspresikan Seni Sunda. BPK GKP mengucapkan terima kasih kepada  Guru SMPK BPPK BANDUNG, Ibu Puspajati Madjiah, Bp. Deni, Bp. Satib, Ibu Novi dan Ibu Maria Goreti yang sudah ikut serta dalam mempersiapkan siswa-siswanya dalam kegiatan ini.  Pengisi acara yang lain adalah dari Paduan Suara GKP Cideres, anak-anak TK bersama orang tuanya juga ikut serta melayani Pujian. Harapan kita kita ke depan, kiranya anak-anak yang bersekolah di lingkungan YBPK GKP dapat menjadi penerus bagi kelangsungan pelayanan dan pendidikan di lingkungan GKP  dan  terus melestarikan budaya setempat.
Banyak kesan yang telah dilalui oleh Pengurus KPS Cideres periode sebelumnya, baik suka maupun duka. Tidak jarang, diantara pengurus mengalami suasana yang tidak mengenakkan, misalnya saling adu argumentasi atau saling  bersikeras mempertahankan pendapatnya  yang istilah Bapak Jauhari Nurman  (Ketua KPS periode sebelumnya) disebut ‘Popolototan’ (maaf kalau salah tulis-red).   Namun pengurus menyadari bahwa semua itu adalah dinamika dalam berorganisasi, yang justru semakin mempererat hubungan sesama Pengurus KPS.
Sangat mengharukan jika semua yang telah dialami tidak lagi menjadi bagian dari keseharian pengurus, karena harus berakhir masa jabatannya. “Kami sangat mengharapkan apa yang sudah diprogramkan sebelumnya tetap menjadi pemikiran ke depan oleh pengurus yang baru….”  ungkap Bapak Jauhari Nurman (Ketua KPS periode sebelumnya) dengan terbata-bata.
 Memang dibutuhkan kesabaran dan ketekunan melayani Tuhan melalui Pelayanan Pendidikan. Tidak sedikit orang yang menyerah. Bahkan mundur dari tugas panggilan pelayannya, hanya karena lebih mementingkan ego-nya. Untuk itu, tetap setia melayani Tuhan jangan menyerah.
Segenap Pengurus YBPK GKP mengucapkan terima kasih kepada Pengurus KPS Cideres Periode 2005-2010 yang sudah bekerja keras dalam mewujudkan pelayanan pendidikan di lingkungan Jemaat GKP Cideres, dan kepada Pengurus KPS Cideres Periode 2010-2015 selamat bekerja di ladang Tuhan. Tetap Semangat dan Jangan menyerah. Tuhan Memberkati !.

Kamis, 18 Maret 2010

e Book : MERDEKA BELAJAR, "Perspektif Pendidikan Kristen menuju transformasi Anak Bangsa"

PENGANTAR   (Dr. Hari Soegianto - Ketua Sekolah Tinggi Teologi SAAT)  Dinamika dalam dunia pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan z...