Kamis, 26 Mei 2011

TIADA KATA BERHENTI UNTUK BELAJAR

Oleh: Pdt. Agustria Empi, Drs. M.Min.

Manusia adalah mahluk yang belajar., bahkan ada suatu ungkapan yang menyatakan : “ dari rahim ibu sampai liang lahat, manusia belajar”. Karena belajar adalah proses yang terus-menerus berlangsung seiring dengan perjalanan hidup manusia, sebagaimana ungkapan diatas, belajar terus terjadi dari mulai rahim ibu sampai liang lahat. Untuk apa manusia belajar ? Seorang penulis di bidang pendidikan pernah menyebutkan beberapa faktor yang menjadi pendorong mengapa manusia memiliki keinginan untuk belajar, yaitu:
• Adanya rasa ingin tahu
• Agar mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan
• Segala aktivitas manusia didasari atas kebutuhan yang harus dipenuhi dari kebutuhan dasar, biologis sampai aktualisasi diri ( mengutip istilah Abraham Maslow)
• Untuk meningkatkan intelektualitas dan mengembangkan potensi diri
• Adanya keinginan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tuntutan zaman dan lingkungan sekitarnya
• Untuk melakukan perubahan dan penyempurnaan dari apa yang telah diketahuainya.
Nah, dari faktor-faktor pendorong ini dapat dikatakan bahwa belajar pada dasarnya adalah suatu proses perubahan manusia.

Apa pengertian belajar? Belajar adalah proses dimana seseorang mengubah pandangan tentang dirinya dan lingkungannya, demikian kata teori Persepsi. Belajar adalah proses mengkondisikan perilaku dengan dorongan dari lingkungannya, itu kata teori Behavioristik. Belajar adalah rekonstruksi mental dengan konfigurasi yang berbeda, demikian pendapat teori Gestalt. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Tentunya masih banyak pendapat teori-teori tentang belajar yang bisa diungkapkan disini. Namun, ada satu hal yang dapat disimpulkan dari kata belajar, yaitu: Perubahan. Manusia yang belajar adalah manusia yang mengalami perubahan, pastinya perubahan ke arah yang baik dan positif. Belajar adalah proses yang berlangsung seumur hidup ( dari rahim ibu sampai liang lahat ), karena itu proses belajar berubah ke arah yang baik pun harus dilakukan manusia sepanjang ia hidup. Nah, dalam kontek ini pojok renungan kita kali ini diberi judul : tiada kata berhenti untuk belajar.

Belajar berubah ke arah yang lebih baik tentunya dimaksudkan perubahan-perubahan yang mencakupi: perubahan pikiran, yaitu dengan menambah informasi-informasi, menganalisis, mengkritisi, menata ulang dan mengaplikasikannya. Kedua, perubahan perasaan, yaitu tentang nilai-nilai hidup yang patut kita pahami, yakini dan terapkan. Ketiga, perubahan perilaku, yaitu perubahan tingkah laku dan perbuatan, cara kerja, gaya hidup dan pola hidup yang diimplementasikan dalam hidup keseharian. Oleh karena itu, belajar berubah ke arah yang lebih baik sebagai proses belajar yang tiada pernah berhenti yang dimaksud disini adalah perubahan yang holistik, yaitu perubahan pikiran, perasaan dan perilaku. Belajar adalah proses untuk mencapai hasil kecerdasan, baik intelektual, emosional, sosial dan spiritual.

Seringkali orang berpandangan bahwa belajar, baik formal maupun non-formal adalah untuk menghasilkan kecerdasan intelektual semata - untuk menambah ilmu pengetahuan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tahu menjadi lebih tahu. Betul itu belajar. Tapi belajar dalam kontek yang seperti ini tidak akan menghasilkan manusia yang baik. Kenapa? Karena manusia bukan saja mahluk intelektual, tetapi juga mahluk emosional, sosial dan spiritual. Apalagi belajar yang hanya bertujuan untuk mendapat ijazah, kedudukan, pangkat, jabatan, kekayaan – belajar seperti itu akan berhenti ketika semuanya itu tercapai.

Tiada kata berhenti untuk belajar adalah sebuah panggilan hidup. Panggilan kehidupan yang Tuhan berikan dan percayakan kepada manusia untuk menjaga dan memelihara kehidupan. Untuk mewujudkan keadilan, kedamaian dan keutuhan ciptaan bagi bumi dan seluruh alam semesta. Panggilan Tuhan itu sebagaimana yang dinyatakan :”Berfirmanlah Allah, baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. Maka Allah menciptakan manusia menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan, diciptakanNya mereka”. ( Kejadian 1:26-27)
Karena itu, hakekat dan tujuan belajar yang paling hakiki adalah pemenuhan panggilan Tuhan kepada manusia sebagai mahluk yang diciptakan ”Imago Dei”. Berkuasa(artinya: menjaga dan memelihara) bumi, alam semesta dan kehidupan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia.

Tidak pernah berhenti untuk belajar. Belajar apa? Belajar tentang tahu diri, belajar tahu tentang sesama, belajar bijak, belajar jujur, belajar taat, belajar setia, belajar rendah hati, belajar mengampuni, belajar tanggap, belajar memiliki kepekaan, belajar memiliki integritas, belajar memiliki kepedulian, belajar tiada henti untuk menuju keprimaan, belajar bertanggung-jawab atas ” kuasa ” yang telah dipercayakan Tuhan. Puncak tertinggi dari semua itu adalah, belajar mencari kehendak Tuhan, belajar melakukan kehendakNya, seperti ungkapan doa sang Pemazmur : ” ajarkanlah aku melakukan kehendakMU ( Mazmur 143: 10 ).










Selasa, 22 Maret 2011

HATI MELAYANI *)

"Tanpa kepemimpinan, organisasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah cepat. Namun, jika pemimpin tidak memiliki hati melayani, maka hanya ada potensi untuk bangkitnya sebuah tirani," ( John P. Kotter dan James E. Heskett) dalam Corporate Culture and Performance. Dengan kalimat tersebut Kotter dan Heskett mengingatkan kita tentang konsep kepemimpinan yang melayani; sebuah konsep kepemimpinan yang digagas secara mendalam oleh almarhum Robert K. Greenleaf, mantan eksekutif AT&T dan dosen di berbagai universitas terkemuka seperti MIT dan Harvard Business School, yang juga peneliti dan konsultan terkenal di Amerika.

Dalam salah satu karya terbaiknya yang bertajuk Servant Leadership (1977) ––sebuah karya yang mendapat sambutan hangat dan pujian tokoh-tokoh sekaliber Scott Peck, Max De Pree, Peter Senge, Warren Bennis, dan Danah Zohar–– Greenleaf antara lain mengatakan, "… the great leader is seen as servant first, and that simple fact is the key to his greatness". Perhatikan bahwa Greenleaf menekankan "servant first" dan bukan "leader first". Seorang pemimpin biasa menjadi pemimpin besar dengan cara melihat dirinya pertama-tama dan terutama sebagai pelayan dan bukan pemimpin. Ia pemimpin juga, tentu. Namun hatinya terutama dipenuhi oleh hasrat melayani konstituennya, melayani pengikutnya, melayani publik atau rakyat yang mengangkatnya menjadi pemimpin. Artinya, jabatan kepemimpinan diterima sebagai konsekuensi dari keinginan yang tulus ikhlas untuk melayani konstituen dan bukan untuk kepentingan egoistik dan selfish, bukan ambisi pribadi yang berangkat dari keinginan berkuasa.

Bila dirunut lebih jauh ke belakang, sosok pelayan sebagai pemimpin dapat kita temukan dalam berbagai ajaran pendiri agama-agama besar. Tak seorang pun di antara guru umat manusia itu yang tidak mendemonstrasikan jiwa dan semangat melayani para konstituen yang mengikutinya dengan tulus hati dan setia, nyaris tanpa pamrih material. Mereka tidak berusaha mengejar jabatan kepemimpinan dulu dan kemudian belajar melayani, melainkan mereka melayani dulu untuk kemudian diterima, diakui, dan diangkat sebagai pemimpin (ini bukan tujuan, tapi konsekuensi) . Jadi, pertama-tama dan terutama mereka melihat diri mereka sebagai "pelayan", khususnya pelayan atau hamba Allah Yang Maha Esa. Dan karena Allah "mengutus" mereka ke dunia, maka demi Allah mereka melayani manusia yang diciptakan Allah itu, sebagai homo Imago Dei .

Pada titik ini kita melihat bagaimana ajaran-ajaran agama mulai (kembali) ditemukan relevansinya untuk dapat diaplikasikan dalam konteks wacana kepemimpinan milenium ketiga. Berbagai ajaran "sesat" yang membuang agama ke pinggir arena kehidupan terbukti keok di tengah jalan (komunisme adalah contoh yang nyata). Ada kehausan spiritual yang nyata dalam masyarakat modern dan pasca modern setelah berbagai "eksperimentasi" dalam memposisikan manusia—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang—sebagai the idiological man-nya Orde Lama, the mechanistic man-nya Orde Baru, fragmented man-nya Orde Reformasi, selfish man-nya Hobbes, man of commodity-nya Marx, maupun man of nature-nya Rousseau, atau digital man dan man of speed-nya generasi elektronik, yang ternyata justru menciptakan inhuman realities dan inhuman system.

Kembali ke Ordo Creatio
Kita tahu bahwa untuk kurun waktu yang sangat lama, pemimpin acapkali dipahami sebagai suatu jabatan atau kedudukan elitis yang menuntut dilayani dan bukan melayani. Dengan demikian, mereka yang menjadi pemimpin dianggap (dan menerima anggapan bahwa dirinya) berhak untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan dalam tradisi Barat maupun Timur, pemimpin seringkali dianggap keturunan dewa atau wakil Tuhan yang tak boleh diganggu gugat (leaders can do no wrong). Pemimpin ditempatkan sebagai manusia dari "kasta tertinggi" sementara konstituennya adalah "kasta terendah" yang harus menerima diperlakukan sebagai "alat", "organ", atau "obyek". Pandangan ini "berhasil' melestarikan status quo raja-raja dan penguasa yang lalim dan sewenang-wenang. Namun dewasa ini pandangan yang demikian telah kehilangan argumentasi untuk dapat dipertahankan. Kesetaraan dalam hubungan antar manusia telah menjadi kesadaran global yang menolak penempatan manusia yang satu di atas manusia yang lain, atas dasar apapun (jenis kelamin, agama, suku, warna kulit, "barat", "timur", dsb).

Jika benar demikian, maka dalam konteks kepemimpinan kita perlu mengaudit kembali citra diri (self image) para pemimpin kita. Kita harus menolak siapa saja yang mempersepsi dirinya sebagai "manusia unggul", "manusia superior", manusia yang merasa "can do no wrong".

Sebaliknya, kita perlu mencari mereka yang menerima hierarki ordo creatio yang menempatkan ditempat tertinggi hanya Allah semata, yang menempatkan manusia ditempat kedua sebagai homo Imago Dei, dan yang menempatkan ditempat ketiga alam semesta sebagai sumberdaya yang harus dikelola secara arif dan bertanggung jawab. Allah adalah Sang Pencipta dan Sang Pemimpin (dengan P besar). Manusia adalah ciptaan yang dicipta dengan potensi daya cipta (creative creature) yang memungkinkan ia menjadi pemimpin (dengan p kecil). Dan alam semesta diciptakan bagi manusia agar manusia itu menjadi manusiawi dengan berbakti kepada Sang Pemimpin semata.

Kesadaran yang tinggi terhadap kesetaraan manusia sebagai sesama ciptaan menempatkan semua manusia sebagai mahluk yang harus mempertanggungjawab kan setiap kata dan perbuatannya kepada Sang Pencipta dan Sang Pemimpin. Dan kesadaran yang demikian hanya mungkin muncul dari hati nurani (conscience) yang bersih, hati nurani yang menuntun akal budi, dan baik hati nurani maupun akal budi itulah yang pada gilirannya menuntun perilaku manusia agar sungguh-sungguh manusiawi.

Semoga kecerdasan spiritual dan semangat melayani itu kembali merekah di hati para pemimpin.

*) Andrias Harefa; Penggagas Visi Indonesia 2045; Trainer Coach Berpengalaman 20 Tahun; Penulis 35 Buku Best-seller.

e Book : MERDEKA BELAJAR, "Perspektif Pendidikan Kristen menuju transformasi Anak Bangsa"

PENGANTAR   (Dr. Hari Soegianto - Ketua Sekolah Tinggi Teologi SAAT)  Dinamika dalam dunia pendidikan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan z...